Kamis, 22 November 2012

Terbunuh Masa Lalu

Udara pagi ini terasa sangat dingin, ditambah rintik-rintik hujan yang membasahi dedaunan dan apapun yang telanjang di bawah langit. Kabut masih menyelimuti kotaku pagi ini. Perlahan kubuka dua bola mataku yang masih berat ini. Kulihat jam dinding di kamarku menunjukkan pukul 04.30. Ternyata suamiku juga masih tidur pulas di sampingku. Tanpa buang-buang waktu, aku langsung pergi ke kamar Juna, anak laki-laki semata wayangku dan menyiapkan sarapan.
Banyak sekali aktifitas yang harus aku kerjakan hari ini. Sampai-sampai aku harus menuliskannya di kertas catatan berbagai kebutuhan dan aktifitasku hari ini agar tak tercecer. Akhir-akhir ini aku sering melupakan sesuatu. Aku sadar bahwa kini aku tidak dapat mengelola sesuatu dengan baik. Padahal dulu aku selalu bisa mangaturnya segala sesuatu dengan baik.
Mungkin aku terlalu terbebani oleh tanggung jawab yang diberikan ayah dan ibu padaku. Terlahir sebagai anak sulung dari empat bersaudara, membuatku harus kuat menanggung beban itu, aku harus bisa menyekolahkan adik-adikku hingga menjadi sarjana dan menanggung pernikahannya nanti.
Banyak orang yang berpikiran jika hidupku sangat sempurna. Padahal sebenarnya dalam hatiku ini tersimpan kepahitan. Orang-orang berkata bahwa aku sangat beruntung. Bekerja sebagai pegawai senior di salah satu perusahaan swasta terkemuka. Mempunyai suami yang sangat tampan, bertubuh atletis, dan seorang anak berumur 4 tahun yang berbulu mata lentik, berkulit putih.  
“Dua minggu lagi adikku akan menikah. Banyak yang harus kupersiapkan”, ujarku pada Elia, teman sekantorku sambil kutarik nafas dalam-dalam.
Sepertinya ia tidak paham dengan perkataanku. “Memangnya apa yang harus kakak lakukan?”, Tanya Elia. “Biasalah, harus pinjam uang sana-sini untuk pesta”, jawabku.
“Aku harus memikirkan gedung resepsi, gaun yang akan dipakai, acara akad nikah, sampai menu makanannya”, kataku pada Elia. Mungkin ia mengerti betapa rumitnya pikiranku.
“Kalau butuh bantuan, telfon aku saja kak. Aku pasti siap membantumu”, ujarnya padaku sambil tersenyum. Mendengar kata itu, hatiku bahagia. Tak menyesal aku mempunya teman sepertinya. Ia selalu membantu kesulitan yang aku alami. Karena tak ada siapapun yang mau membantuku, termasuk suamiku. Kadang aku berfikir, apakah dia harus kuceraikan atau kupertahankan. Banyak yang mengira, perkawinanku adalah perkawinan yang sempurna. Aku sering mendapat pujian atas ketampanan suamiku. Tapi semua itu salah besar. Perkawinanku yang sesungguhnya jauh dari bahagia. Suamiku sering bertindak kasar padaku. Salah sedikit saja, tangannya langsung beraksi. Selama ini aku menahan kepedihan hatiku tanpa seorang pun tahu termasuk orang tuaku. Aku selalu menutupinya,berpura-pura tidak terjadi apapun. Sampai akhirnya, perlakuannya padaku  sudah tidak bisa kutoleransi. Ia melakukan kekerasan yang mengakibatkan lebam-lebam di tubuhku.
Sampai suatu hari aku tiba di kantor pada pukul 12 siang.  Elia sontak terkejut melihatku karena melihat lebam-lebam di tubuhku.
“Apa yang terjadi padamu kak?” tanya Elia cemas. Aku hanya terdiam dan menangis tersedu-sedu di meja kerjaku sambil memegangi wajahku yang memar.
“Ada apa kak?” Elia bertanya lagi.
“Semalam Aji memukulku lagi. Aku hampir dibunuh”, jawabku pada Elia.
Elia sangat terkejut mendengarnya. Mungkin anggapannya tentang keluarga sempurna sekejap runtuh, karena ia juga beranggapan jika keluargaku adalah keluarga yang sempurna. Akhirnya kuceritakan semua yang terjadi padaku tadi malam padanya. Elia sedih mendengar ceritaku. Air matanya deras mengalir di pipinya yang mulus sambil terus mengusap rambutku dengan lembut. Akhirnya, kami berdua menangis bersama.


Beberapa hari yang lalu suamiku mendengar jika aku mengundang David untuk datang ke pernikahan adikku. David adalah mantan pacarku. Ia merupakan rekan kerja adikku. Namun Aji berpikiran lain, ia curiga jika aku mengundang David supaya aku bisa bertemu dengan mantan pacarku lagi. Malam itu ia menanyakannya padaku. Aku tersenyum sambil menjelaskan persoalan itu pada Aji. David diundang ke pesta itu oleh adikku, bukan aku. Tapi penjelasanku ini semakin membuat Aji marah. Ia langsung menendang kakiku, sehingga membuat tubuhku tersungkur ka lantai. Diinjaknya lengan kananku. Aku menjerit-jerit kesakitan. Mendengar jeritan itu, ibu mertuaku yang rumahnya di sebelah rumahku langsung datang. Ia berteriak agar anaknya menghentikan apa yang dilakukannya. Namun Aji tidak menggubris omongan ibunya sama sekali. Dengan amarah yang kian memuncak, ia pergi ke dapur dan mengambil sebuah pisau tajam. Pikirannya seperti kerasukan setan. Pisau tajam yang ada di tangan kanannya, sekejap meluncur ke perut kiriku. Tuhan masih memberkatiku, saat Aji akan mengayunkan pisau tajam ke arahku, tangannya menyenggol kursi yang ada di sampingku. Pisau itu jatuh ke lantai. Kemudian ia berlari ke luar rumah sambil berteriak marah. Melihat peristiwa itu, Juna menangis kencang. Ia sangat ketakutan. Aku berlari memeluknya sambil menciumi wajahnya yang ketakutan. Aku berusaha menenangkannya.
Setelah peristiwa itu, aku dan Juna pergi dari rumah dan mengungsi ke rumah orangtuaku, sedangkan Aji tetap berada di rumah kami. Aku bisa paham dengan cemburu berlebihannya itu karena saat ini mungkin ia merasa berada pada tempat yang sulit. Setelah dikeluarkan dari perusahaannya karena bangkrut, ia menganggur selama 7 bulan. Barangkali ia takut aku berkuasa di keluarga ini.  Padahal aku selalu memperlakukannya sama seperti saat ia masih bekerja dulu. Membelikan baju bermerk, parfurm mahal, dan semua keperluannya.
Setelah kejadian itu terjadi banyak perubahan pada anakku. Ia sering melamun, marah-marah tanpa sebab, dan dalam tidurnya sering berteriak histeris. Sebagai seorang ibu, tentu aku merasa cemas dengan psikologi Juna. Sampai suatu ketika, Juna berkata bahwa ia akan membunuh Aji ayahnya. Aku menangis memeluknya. Dengan susah payah akhirnya aku bisa meredam kemarahan anakku. Saat ini aku bisa. Entah esok apakah aku masih bisa mengendalikan dendam anakku. Itu yang selalu mencemaskanku. Sekecil itu, Juna harus menanggung beban yang tak semestinya.
“Sebenarnya aku masih ingin mempertahankannya, namun aku khawatir dengan psikologi Juna. Apa yang harus kulakukan?” kataku pada Elia di telefon.
“Ikuti saja apa kata hatimu kak. Aku juga tidak bisa memberikan solusi padamu.” Jawab Elia ragu.
Beberapa hari setelah kejadian itu, karena jiwaku belum sembuh sepenuhnya, aku belum juga masuk kerja. Aktifitasku masih kalang kabut. Semua pekerjaan yang aku lakukan selalu salah. Sampai-sampai sudah 3 buah gelas aku pecahkan saat aku minum. Padahal aku memegang erat gelas itu, namun entah mengapa seperti tak ada kekuatan pada diriku hingga tanganku menjatuhkan gelas itu begitu saja. Aku tak pernah sadar dengan apa yang kulakukan. Berat badanku turun drastis hingga 5 kg. Aku tampak seperti orang yang kurang gizi, kurus kering dengan rambut awut-awutan karena tak pernah kusisir. Yang kuperhatikan hanya keadaan Juna. Tentang psikologinya, pendidikannya, kesehatannya, dan semua yang baik-baik untukknya.   
Tiap kali aku ke luar rumah dan bertemu orang yang mengenalku, mereka selalu memberikan banyak nesehat padaku. Ada yang mengatakan aku harus pergi ke dukun agar suamiku bisa kembali seperti dulu, ada yang menyuruhku agar mempertahankan pernikahanku karena agama melarang adanya perceraian, dan ada juga yang menyuruhku agar bercerai saja. Mereka sangat kasihan dan prihatin dengan semua kejadian yang menimpaku. Kadang aku memikirkan dan menimbang-nimbangnya, tapi tak jarang juga nasehat itu masuk telinga kanan dan keluar lewat telinga kiri.
Aku sadar, harus kuambil keputusan secepatnya untuk menentukan masa depanku dan anakku. Kurenungkan semua itu setiap malam sebelum tidur hingga aku mendapatkan jawabannya. Namun aku sangat ragu. Aku memutuskan untuk meminta nasehat dari orangtua dan saudara-saudaraku. Mereka menyarankan agar aku berpisah saja dengan Aji. Saran itu sejalan dengan keputusan yang akan kuambil yaitu bercerai. Sampai pada suatu hari, kukumpulkan semua keberanianku untuk mengatakan keputusanku itu pada Aji. Memang sangat berat, tapi aku harus bisa. Aku tak perduli apakah Aji menerima keputusan ini atau tidak. Hanya masa depan Juna yang terpenting.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar