Kamis, 29 November 2012

Curhatmu Malam Itu

Want you


“Ra, tunggu...” teriakmu sambil berusaha meraih pundaknya saat pulang sekolah. “Nanti malam aku kerumahmu.”

Tampaknya kau telah mengejutkannya dengan kalimat singkatmu. Namun, kau sengaja segera berlalu meninggalkannya karena kau tahu ia akan melontarkan kalimat-kalimat tanya selanjutnya yang justru akan membuatmu malu.

Entah sejak kapan kau dan dia saling memiliki ruang. Ruang yang menciptakan berbagai rasa di antara kalian berdua. Kau sendiri tak tahu apakah kau yang telah masuk perlahan ke ruangnya ataukah sebaliknya. Semuanya terjadi seperti air mengalir. Pada kenyataannya toh kau begitu menikmati keadaan ini.

Beberapa tanda tanya telah diperlihatkan oleh raut wajah Maura. Ia masih mempertahankan posisi terakhir saat kau melepaskan pundaknya. Memang tak biasanya kau yang setingkat lebih tinggi dari Maura dengan sengaja mau menunggu dan menyapa duluan. Apalagi di tempat yang memungkinkan banyak mata bisa memandang dengan mudah seperti saat ini. Gerombolan para perempuan pun secara otomatis mencari sumber suara yang ternyata darimu. Namun sayang, saat mereka tepat menemukan sumber suara itu, kau ternyata telah berhasil melarikan diri dan melenggang dengan tenang. Membuat Maura-lah yang harus mempertanggung jawabkan perbuatanmu.

“Cie, cie, Maura. Ternyata diam-diam lincah juga. PJ-nya dong, Ra?” sergah seorang kakak kelas dari gerombolan para perempuan menggoda Maura. Maura terlihat salah tingkah. Ya. Benar-benar salah tingkah dan tak tahu harus menjawab apa. Otaknya masih mencari jawaban yang tepat. Jawaban yang tidak  ambigu.

Maura tak mengenal siapa perempuan yang berbicara. Ia hanya tahu jika perempuan itu adalah teman sekelasmu. Banyak yang mengenal Maura. Hampir seluruh siswa mungkin. Adik kelas maupun kakak kelas. Maura memang aktif diorganisasi dan kegiatan-kegiatan sekolah yang memungkinkannya untuk sering bersosialisasi dengan para siswa.

Gosip semacam itu bagikan debu di musim kemarau. Cepat sekali terbawa oleh angin dan menempel di mana-mana. Pembersihan tak akan ada gunanya. Akan tetap datang lagi, lagi dan lagi dibawa oleh angin-angin yang baru. Hanya dengan mengabaikan dan menyerahkannya pada waktu-lah solusi yang sangat tepat.

Maura hanya membalas pertanyaan itu dengan senyuman lantas bergerak meninggalkan posisinya menuju parkiran. Ia dapati motormu hanya tinggal jejak-jejaknya saja. Kekecewaan menghiasi wajah orientalnya. Ia kemudian berjalan menuju halte yang ada di depan sekolah untuk menunggu angkot dengan banyak tanda tanya.

Senin, 26 November 2012

Lelaku Aku dan Dia

Aku ingin kamu

Meski....
Teringkus dusta beragam muslihat
Terukir berjuta naif dalam laga antara bangkit dan menunduk
Tercekik rasa penuh lara
Terpicing dengki utuh pembentuk rindu

Aku tetap ingin kamu

Gejolakku jadi kentara di masa ini
Antara pertahanan juga penyelesaian
Nikmati benang merah tiap lelaku aku dan dia
Entah....
Segala rupa dusta menunggu akhir
Tercetak haru buat sendu
Tercipta bahagia untuk pemuas rasa

Aku selalu ingin kamu

Avenged Sevenfold - Warmness On The Soul

Only You
Your hazel green tint eyes watching every move I make.
And that feeling of doubt, it's erased.
I'll never feel alone again with you by my side.
You're the one, and in you I confide.


[chorus]
And we have gone through good and bad times.
But your unconditional love was always on my mind.
You've been there from the start for me.
And your loves always been true as can be.
I give my heart to you.
I give my heart, cause nothing can compare in this world to you.

[Repeat chorus]


{Piano Solo}


I give my heart to you.

I give my heart, cause nothing can compare in this world to you.

Tanya Hati

With Love
Sejenak hidup di dunia ini
Tampak samar bahkan gelap sepi
Keluh hati tangis diri trus mencari
Dimanakah takdir ilahi tertulis rapi

Bingung mencari adakah jalan terang
Tajam kerikil setiap saat siap menghadang
Menjegal langkah yang coba menantang
Keras kehidupan yang bagai batu karang

Pada siapa kita akan bertanya
Apakah tak ada ujung jua

Jatuh bangun seakan slalu mengikuti
Kalah menang seolah jadi saksi
Hilang asa tak jarang menghantui
Itulah hidup yang penuh ironi
Namun tak mau hanya seperti ini

Diri sadar disentak oleh nyala api
Mengoyak semangat yang kian pergi
Berkilo jalan tunggu tuk dilalui
Mungkin tuntunan Nabi perlu ditelusuri
Biar hati tak tersesat lagi
Biar cahaya terang kembali

Kamis, 22 November 2012

Kugy and Keenan Wannabe (Dari Agatha Ega)

Net
"Berputar menjadi sesuatu yang bukan kita demi bisa menjadi diri kita lagi. Suatu saat nanti, kita akan jadi diri kita sendiri.” (Dee - Perahu Kertas)

Ini bukan cerita Kugy dan Keenan seperti yang ada dalam novel garapan Dee yang cukup tersohor itu, tapi ini kisah anak-anak manusia yang mungkin sedang menunggu menjadi dirinya sendiri.

Agatha Ega, Anindia Basuki, Achmad Romadlon, pernah mendengar nama-nama itu? Mereka bukan siapa-siapa, jadi tidak ada yang salah jika tidak mengenalinya. Kita bertiga hanya seorang siswa-siswi SMP waktu itu, sahabat, dan juga crew. Tak ada yang menyatukan kita selain satu hal: MIMPI. Aku punya cita-cita sendiri, Anin punya cita-cita sendiri, dan Ramapun juga, tidak ada yang sama, lalu apa? Kami yang selalu terobsesi akan hal-hal dalam jalur mimipi kita ini, hanya sering dan selalu berbagi.

Aku suka kebebasan, tapi ini bukanlah sebuah gen bawaan yang sudah ada ketika aku terlahir di dunia ini. Sekitar 3 tahun lalu aku baru belajar akan kebebasan, aku menjadi benar-benar tahu apa yang aku inginkan, impikan, dan harapkan sebenarnya. Dari gadis kecil lugu yang terbelenggu, yang selalu minder pada dunia luar, tiba-tiba mengenal akting, public speaking, menulis dan sastra, seorang guru sekaligus motivator: Dadija Oetomo — yang lagi-lagi mungkin kau tak mengenalinya — yang telah menyadarkanku.

Berbeda dengan diriku, Anin, juara kelas yang serba bisa itu juga tersadarkan oleh jalan yang harus ia pilih. Akting, vokal, dan menggambar, tiba-tiba saja ia disodorkan pada hal-hal yang harus ia sadarinya, hal-hal yang sebenarnya mendominasi dirinya dibanding hal lain, dan lagi-lagi orang yang sama yang telah membuatnya melek saat itu juga.

Kali ini Rama, sama seperti aku dan Anin, cowok berperawakan sederhana, lugu dan tak pernah peduli pada penampilan fisik itu, tiba-tiba saja ia melek tegnologi. Internet, komputer, jaringan, OS, sampai tulisan dan leadership, lagi-lagi sang motivator yang menginspirasi.

Sang motivator itu rupanya telah sukses bahkan berhasil telak menginfeksi kita bertiga yang haus akan inspirasi. Sejak itu kita jadi punya pegangan, Passion, dan di buat jelas jalan mana yang harus kita tempuh masing-masing. Aku ingin jadi jurnalis (Amin), Anin ingin jadi desainer grafis (Amin), Rama ingin jadi programer (Amin). Sejak itu pula kami mengamini semuanya, dan mulai melangkah membuat jejak. “Lakukan yang kamu cinta, cintai yang kamu lakukan.”, begitu terus kalimat yang mengalir menembus ruang tengah otak kami.

Tapi...

Terbunuh Masa Lalu

Udara pagi ini terasa sangat dingin, ditambah rintik-rintik hujan yang membasahi dedaunan dan apapun yang telanjang di bawah langit. Kabut masih menyelimuti kotaku pagi ini. Perlahan kubuka dua bola mataku yang masih berat ini. Kulihat jam dinding di kamarku menunjukkan pukul 04.30. Ternyata suamiku juga masih tidur pulas di sampingku. Tanpa buang-buang waktu, aku langsung pergi ke kamar Juna, anak laki-laki semata wayangku dan menyiapkan sarapan.
Banyak sekali aktifitas yang harus aku kerjakan hari ini. Sampai-sampai aku harus menuliskannya di kertas catatan berbagai kebutuhan dan aktifitasku hari ini agar tak tercecer. Akhir-akhir ini aku sering melupakan sesuatu. Aku sadar bahwa kini aku tidak dapat mengelola sesuatu dengan baik. Padahal dulu aku selalu bisa mangaturnya segala sesuatu dengan baik.
Mungkin aku terlalu terbebani oleh tanggung jawab yang diberikan ayah dan ibu padaku. Terlahir sebagai anak sulung dari empat bersaudara, membuatku harus kuat menanggung beban itu, aku harus bisa menyekolahkan adik-adikku hingga menjadi sarjana dan menanggung pernikahannya nanti.
Banyak orang yang berpikiran jika hidupku sangat sempurna. Padahal sebenarnya dalam hatiku ini tersimpan kepahitan. Orang-orang berkata bahwa aku sangat beruntung. Bekerja sebagai pegawai senior di salah satu perusahaan swasta terkemuka. Mempunyai suami yang sangat tampan, bertubuh atletis, dan seorang anak berumur 4 tahun yang berbulu mata lentik, berkulit putih.  
“Dua minggu lagi adikku akan menikah. Banyak yang harus kupersiapkan”, ujarku pada Elia, teman sekantorku sambil kutarik nafas dalam-dalam.
Sepertinya ia tidak paham dengan perkataanku. “Memangnya apa yang harus kakak lakukan?”, Tanya Elia. “Biasalah, harus pinjam uang sana-sini untuk pesta”, jawabku.
“Aku harus memikirkan gedung resepsi, gaun yang akan dipakai, acara akad nikah, sampai menu makanannya”, kataku pada Elia. Mungkin ia mengerti betapa rumitnya pikiranku.
“Kalau butuh bantuan, telfon aku saja kak. Aku pasti siap membantumu”, ujarnya padaku sambil tersenyum. Mendengar kata itu, hatiku bahagia. Tak menyesal aku mempunya teman sepertinya. Ia selalu membantu kesulitan yang aku alami. Karena tak ada siapapun yang mau membantuku, termasuk suamiku. Kadang aku berfikir, apakah dia harus kuceraikan atau kupertahankan. Banyak yang mengira, perkawinanku adalah perkawinan yang sempurna. Aku sering mendapat pujian atas ketampanan suamiku. Tapi semua itu salah besar. Perkawinanku yang sesungguhnya jauh dari bahagia. Suamiku sering bertindak kasar padaku. Salah sedikit saja, tangannya langsung beraksi. Selama ini aku menahan kepedihan hatiku tanpa seorang pun tahu termasuk orang tuaku. Aku selalu menutupinya,berpura-pura tidak terjadi apapun. Sampai akhirnya, perlakuannya padaku  sudah tidak bisa kutoleransi. Ia melakukan kekerasan yang mengakibatkan lebam-lebam di tubuhku.
Sampai suatu hari aku tiba di kantor pada pukul 12 siang.  Elia sontak terkejut melihatku karena melihat lebam-lebam di tubuhku.
“Apa yang terjadi padamu kak?” tanya Elia cemas. Aku hanya terdiam dan menangis tersedu-sedu di meja kerjaku sambil memegangi wajahku yang memar.
“Ada apa kak?” Elia bertanya lagi.
“Semalam Aji memukulku lagi. Aku hampir dibunuh”, jawabku pada Elia.
Elia sangat terkejut mendengarnya. Mungkin anggapannya tentang keluarga sempurna sekejap runtuh, karena ia juga beranggapan jika keluargaku adalah keluarga yang sempurna. Akhirnya kuceritakan semua yang terjadi padaku tadi malam padanya. Elia sedih mendengar ceritaku. Air matanya deras mengalir di pipinya yang mulus sambil terus mengusap rambutku dengan lembut. Akhirnya, kami berdua menangis bersama.

Every Silence Has A Story

Meaning of Love
“.....

Waktu terus berlalu. Emosi dan perasaan datang dan pergi silih berganti. Seperti bulan dan matahari. Siang dan malam. Semua yang ada di dunia ini berjalan secara alami. Mengikuti naluri. Maka, satukanlah hidup-mu dengan irama alam. Seperti matahari yang tak pernah memaksa untuk menerangi malam. Atau bulan yang selalu ingin jadi purnama setiap hari. Semuanya harus selaras. Seperti alam yang menyesuaikan diri dengan penuh kesabaran, namun meyakinkan.
Niscaya, hidup akan terasa jauh lebih ringan dan mudah jika kita berserah diri. Berpasrah. Bersabar. Tapi, juga yakin bahwa semua akan berlalu, bahwa kemarin bukanlah milik kita dan hari esok belum tentu jadi milik kita.
Amin.”
Itu adalah dua paragraf terakhir dari novel Cerita Dalam Keheningan karya Zara Zettira ZR. Aku baru saja rampung membacanya. Tidak butuh waktu lama untuk menyelesaikan sebuah buku yang cukup menarik. Sampulnya minimalis, manis, cantik. Aku tak berniat menulis resensinya. Aku hanya ingin mengungkapkan unek-unekku setelah membaca buku ini.
Banyak argumen yang diungkapkan oleh Zaira, tokoh utama, yang membuatku sadar kemudian mengangguk setuju seperti hanya ada satu Tuhan dan semua agama adalah hanya sebuah jalan untuk menuju satu tujuan yang sama yaitu kebaikan. Banyak juga hal yang sebelumnya tak begitu kuperhatikan menjadi kupikirkan lagi. Tentang tidak semua hal harus diungkapkan lewat rangkaian kata-kata untuk saling memahami. Seperti ibuku yang bisa memahami perasaanku tanpa aku harus menceritakan isi hatiku padanya. 
Lembar demi lembar masalah yang dialami Zaira membuatku semakin bijak dalam menjalani hidup ini. Semua bisa ada karena cinta, namun semua juga bisa musnah karena cinta. Aku menjadi semakin bingung dengan arti cinta. Bukankah kita hidup karena cinta? Mungkinkah kita hidup tanpa cinta? Mengapa cinta yang besar justr bisa membunuh kita? Bagaimana kita seharusnya menghadapi cinta? Entahlah, aku belum benar-benar mengetahuinya sekarang. 
Yang jelas, karena cinta Zaira pada ayahnya yang terlalu besar, membawanya pada jurang permasalahan. Membuatnya seperti orang gila, terpenjara dalam rasa bersalah, dan membuatnya berulang kali berusaha bunuh diri untuk dapat bersama lagi dengan ayahnya. Benar saja jika cinta itu misterius penuh daya magis. Kecintaannya pada sang ayah telah menimbulkan suatu ketergantungan pada dirinya. Hidupnya menjadi tak bermakna tanpa cinta ayahnya. Wow! Karena itulah, janganlah berlebihan mencintai seseorang. 
Dalam mencari jawaban dari masalah-masalah yang menggelayuti pikiran, nalurilah yang bisa memberi jawaban. Dengan berdiam dalam keheningan. Naluri itu murni, tak seperti pikiran yang terpengaruh oleh masa lalu. Naluri bisa membedakan mana baik dan mana yang buruk tanpa harus diajari. 
Membaca buku ini, seperti membaca sepenggal kisahku. Aku ingin mencoba berpegang pada masa sekarang, menganggap masa lalu sebagai kenangan, dan menyambut masa depan sebagai rahasia Tuhan. 
Menjalani hidupku seperti aliran air yang terus mengalir dan menyambut seseorang yang akan memberikan makna cinta padaku. Aku tak keberatan masih sendirian, asalkan jangan kesepian.

Jumat, 16 November 2012

Kamu Tetap Malaikatku



Dream Wolrd
Cuaca tak begitu terik siang ini. Tak seperti biasanya dimusim kemarau, kali ini suhu turun beberapa derajat yang membuat pori-pori berpuasa mengeluarkan peluh. Butiran halus air kiriman Tuhan membangun suasana menenangkan. Memaksa jutaan butiran debu tetap pada pijakannya dan basah. Menyodorkan aroma khas yang sangat dikenal oleh indera penciuman.

Kunikmati suasana ini sambil mencari sosoknya yang tak kutemui sepanjang hari ini. Menelusuri tiap jalur yang biasa ia lewati untuk sampai pintu gerbang sekolah dan duduk di halte menunggu angkot. Rasa cemas seketika terbangun tatkala tak kuketahui keadaannya. Mencoba menanyakan pada teman sekelasnya, tapi tetap nihil. Tak ada yang tahu kemana dia setelah keluar kelas. 

Sadar seluruh permukaan wajahku sukses menjadi basah karena butiran air halus yang berkumpul, kuputuskan untuk berteduh sebentar di depan perpustakaan. Mengambil selembar tisu yang ada di tas dan mengusapkan ke wajah. Pandanganku tetap terjaga mencari sosoknya. Pemuda dengan tinggi standar, berkulit sawo matang yang tak pernah lepas dari jaketnya. Kemana kamu?

Butiran halus air berhenti turun. Terlihat beberapa anak masih asik dengan aktivitasnya di sekolah. Aku memutuskan untuk pergi ke halte depan sekolah. Berharap mungkin dia sedang duduk di sana. 

Sampai di pintu gerbang, kuarahkan pandangan jauh ke halte. Dia tak ada di sana. Kutarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya panjang. Aku tetap berjalan menuju halte. Dengan langkah putus asa kugerakkan kaki ini. Sapa ceria dari teman-temanku tak mengubah perasaanku. Rasanya ada yang hilang.

“Maura....!!” panggil seseorang yang suaranya benar-benar kukenal. Tak ada alasan lagi untuk tidak menengok ke belakang. Ya, itu suara Miko.

“Hei?”

“Mau kemana?”

“Halte lah.”

“Ngapain ke halte, bukannya dijemput ya? Tunggu aja di sini”

“Bukan mau nunggu jemputan”

“Terus nunggu siapa?”

Pertanyannya membuatku merasa kesal. Tak tahukah dia, aku mengitari sekolah hanya untuk menemukan sosoknya. Dengan cekatan kujawab, “Kamu! Puas?”



Dia lalu diam dan berjalan mengikutiku menuju halte. Kami duduk bersama. Berdua, di tengah suasana sendu. Untuk beberapa saat kami mempertahankan ego masing-masing untuk menutup rapat-rapat mulut ini. Sesekali ia melihat ponsel yang ada digengaman dan memainkannya. Mungkin dia merasa jenuh bersamaku di sini. Mungkin dalam hatinya juga sudah memaki-maki sopir angkot yang tak kunjung datang.

“Selamat hari pahlawan, Ko” kataku membuka percakapan.

“Iya. Selamat hari pahlawan juga”

“Siapa pahlawan dalam hidupmu? Bolehkah aku tahu?”

“Emmm, siapa ya? Spiderman, Batman, Superman, Hulk, Thor, atau Cat Woman. Mana yang menrutmu lebih pantas?”

Dia mulai bercanda. Mencairkan suasana yang tadi sempat beku. Aku tersenyum. “Seriously, please! Who is your hero, Miko? Can you tell me?”

I don’t know.”

“Nggak tahu apa, pahlawan dalam hidupmu?”

“Bukan! Nggak tahu sama bahasa kamu. Emang siapa pahlawan kamu?”

Begitulah dia. Sering mengaku sebagai seseorang yang serius tapi sebenarnya, ya, seperti kebanyakan orang yang sangat dinamis. Aku menatapnya kesal tanpa berkata apapun. Dia sengaja membalasnya dengan tatapan lugu tak berdosa. Sambil membangun senyum seringainya, dia terus menatapku yang pasti terlihat semakin kesal. Aku benar-benar ingin menonjokknya. Tepat di tengah wajahnya. Emosiku memuncak, dan dia tahu itu.

“Hhahaha... Ujian berakhir, Nona! Emosimu terlalu mudah untuk berada pada posisi puncak. Aku tahu sudah banyak makian di benakmu untukku, kan? Dan jika aku tak menghentikannya sekarang, mungkin jiwaku terancam”

Baik memang tujuannya. Ingin membantuku menjadi lebih sabar. Tapi itu menjengkelkan. Dia memutar badan 90⁰ yang otomatis mengubah posisi duduknya yang awalnya sejajar denganku, menjadi menghadapku. Aku hanya diam sambil menatap jauh ke depan. Memandangi pemandangan depan sekolah yang ternyata masih alami. Hamparan sawah hijau terbentang menunjukkan keindahannya. Aku tahu ia menatapku sekarang.

“Apa bedanya malaikat sama pahlawan?” tanyanya dengan nada serius.

Aku masih enggan menjawab.

“Nona Maura masih ngambek ya? Tadi kan cuma bercanda. Apa sih bedanya malaikat sama pahlawan?” nadanya merayu tapi serius.

“Beda wujud dan tujuannya,” jawabku singkat.
  To Be Continued...

Aku : MISS E?

Kuucapkan terimakasih
Ternyata tak seperti asumsiku. Kau tak lupa pada temanmu yang satu ini rupanya. Terimakasih atas ucapan selamat ulang tahunnya. Meskipun terlambat dan ada keraguan dari dirimu akan tanggal lahirku, antara 15 atau 18 Oktober, aku merasa beruntung pernah mengenalmu. Aku mengira kau tak mengingatnya. 

Kamu bilang rambutku seperti cemara, hidungku terlampau kurang, warnaku gelap gulita, dan lain-lainnya, tapi perlu kamu ingat kita pernah bertamasya berdua. Motor Yamaha Vega R adalah saksinya. Tahu saat petang tiba, kita malah berputar-putar mengelilingi kawasan Terongan yang tak kuketahui sama sekali. Kamu tahu bagaimamna perasaanku saat itu? Semua ayat Al-Qur'an yang kubisa, kubaca sepanjang perjalanan. Berharap segera tahu kemanakah jalan yang harus kita lalui. Beruntung, bahan bakar motormu sudah kau penuhi sebelum berangkat. Bagaimana jika tidak? Mungkin kita tidak bisa pulang ke rumah. Ya, itu hanya segelintir kenangan yang cukup menarik bersamamu, bung!

Aku terkesan dengan caramu menyampaikan ucapan selamat ulang tahun padaku. Kamu pinjamkan buku tulisan-tulisanmu dan kamu suruh aku mencari sendiri tulisan untukku. Tak butuh waktu lama untuk menemukannya. Dengan julukan-julukan masa SMP kau panggil aku. Ternyata kamu adalah salah satu dari penggemarku. Entah apa kalimat yang kau tulis, aku lupa, yang jelas kamu bilang aku serba bisa. Terimakasih atas pujiaannya.

Ngomong-ngomong, kenapa kamu sebut aku MISS E? Miss Environment lebih tepatnya. Seperti itukah aku menurutmu? Mungkinkah putri lingkungan, atau yang lain? Aku butuh penjelasan.

Yang ingin kusampaikan padamu, kamu tak perlu meminta maaf karena tak menuruti permintaanku untuk menulis tentangku. Aku tak begitu berharap akan hal itu. Beberapa tulisanmu sudah ada yang mencantumkan namaku, itu membuatku bahagia. Jangan minta maaf lagi. Aku tak terlalu suka dengan kata maaf sekarang. 

Kita memang ditakdirkan dengan jalan berbeda, tapi kita harus tetap merajut kebersamaan untuk selamanya.

Kamis, 15 November 2012

Hujan!

Rain of Tears
Miko, kau merusak tidur siangku. Getaran ponsel akibat kiriman pesan singkatmu membuat nadiku bergerak untuk segera membacanya. Hujan telah reda. Mungkin saat aku nyenyak tertidur. Hanya bekasnya yang bisa kutangkap. Menempel butiran-butiran air di dinding-dinding kaca, dedaunan, di semuanya. Membuat basah segala yang tak mendapat sandaran untuk berteduh.

Hujan selalu punya kesan yang berbeda disetiap kedatangannya. Kali ini, datangnya membawa kabar yang menyesakkanku. Dengan mata yang rasanya masih berat, kubuka pesan darimu. Rasa dingin sekejap menelusup ke setiap sistem sarafku. Aku menggigil. Tanganku tak kuasa menulis balasan untukmu. Katamu masa mudamu terenggut. Katamu kau tak kan bisa lagi punya masa seperti mereka. Dan katamu kau takkan seperti yang dulu.

Seribu kali kukatakan maaf padamu, bisakah merubah ini? Aku sendiri tahu persis jawabannya pasti TIDAK! Itulah alasan aku tak mau mengatakan maaf lagi padamu. Aku tak bisa. Maafku hanya bisa kukirimkan lewat isyarat sehalus udara. Mendapati kau tak membenciku saja, aku bahagia. Kau memang baik. Terlalu baik malah.

Kubalas pesanmu dengan beberapa lirik lagu Muda dari Agnes Monica. Harapanku kau sadar tidak ada yang terenggut dari dirimu. Bukan kata tidak mampu, tak perduli usiamu, kamu muda kamu bisa. Air mataku terasa hangat mengalir di pipi. Aku menangis lagi. Untuk yang kesekian kalinya. Menangis untukmu. Ya! Hanya untukmu.

Kau membalas pesanku. Kau tanya aku pantaskah kau menangis. Seketika kuteringat sajakku hari itu untukmu. Aku tulis di sana jika aku ingin mendengar tangisanmu. Aku ingin melihatmu menangis di hadapanku. Kukirim sajak itu padamu. Berharap kau bisa menyimpulkannya sendiri. Cukup panjang.
Dan benar. Kau bisa menyimpulkan tanpa salah sedikitpun.

Lalu kau bertanya lagi padaku, salahkah jika sekarang aku jatuh cinta? Lama aku berfikir dan menahan air mata agar tidak menambah debitnya. Cukup dengan rasa sesak yang sangat menyesakkan hatiku kali ini. Aku tak berhak mengikatmu memang. Aku bukan siapa-siapamu. Aku hanyalah pembawa bencana bagimu yang berusaha menjadi malaikat tanpa sayapmu. Aku orang jahat. Tak mau menjadi lebih jahat dengan menahanmu.

Akulah orang pertama yang kau beritahu, kan? Kau minta pendapatku bagaimana jika kau bersamanya? Kau tanya bagaimana dia menurutku? Kau tanya juga mungkinkah ini terlalu cepat? Dan kau memohon padaku untuk tidak mengatakan pada siapapun?

Aku jawab semuanya setulus hatiku. Sepengetahuanku. Sebagaimana harusnya menjadi seorang kawan. Aku berusaha sebaik-sebaiknya. Berusaha tetap tersenyum untukmu meskipun rasa sesak tak pernah lekang dari hati.

Tak usah perdulikan aku. Bahagiakanlah jiwa dan ragamu. Berubahlah menjadi kau yang sekarang. Kau yang akan semakin terang. Kau yang tak akan meredup barang sepersekian detikpun. Aku tak akan meninggalkanmu, kawan!

Biar Maura jatuh cinta padamu, tapi tak perlu kau tahu.