Kamis, 29 November 2012

Curhatmu Malam Itu

Want you


“Ra, tunggu...” teriakmu sambil berusaha meraih pundaknya saat pulang sekolah. “Nanti malam aku kerumahmu.”

Tampaknya kau telah mengejutkannya dengan kalimat singkatmu. Namun, kau sengaja segera berlalu meninggalkannya karena kau tahu ia akan melontarkan kalimat-kalimat tanya selanjutnya yang justru akan membuatmu malu.

Entah sejak kapan kau dan dia saling memiliki ruang. Ruang yang menciptakan berbagai rasa di antara kalian berdua. Kau sendiri tak tahu apakah kau yang telah masuk perlahan ke ruangnya ataukah sebaliknya. Semuanya terjadi seperti air mengalir. Pada kenyataannya toh kau begitu menikmati keadaan ini.

Beberapa tanda tanya telah diperlihatkan oleh raut wajah Maura. Ia masih mempertahankan posisi terakhir saat kau melepaskan pundaknya. Memang tak biasanya kau yang setingkat lebih tinggi dari Maura dengan sengaja mau menunggu dan menyapa duluan. Apalagi di tempat yang memungkinkan banyak mata bisa memandang dengan mudah seperti saat ini. Gerombolan para perempuan pun secara otomatis mencari sumber suara yang ternyata darimu. Namun sayang, saat mereka tepat menemukan sumber suara itu, kau ternyata telah berhasil melarikan diri dan melenggang dengan tenang. Membuat Maura-lah yang harus mempertanggung jawabkan perbuatanmu.

“Cie, cie, Maura. Ternyata diam-diam lincah juga. PJ-nya dong, Ra?” sergah seorang kakak kelas dari gerombolan para perempuan menggoda Maura. Maura terlihat salah tingkah. Ya. Benar-benar salah tingkah dan tak tahu harus menjawab apa. Otaknya masih mencari jawaban yang tepat. Jawaban yang tidak  ambigu.

Maura tak mengenal siapa perempuan yang berbicara. Ia hanya tahu jika perempuan itu adalah teman sekelasmu. Banyak yang mengenal Maura. Hampir seluruh siswa mungkin. Adik kelas maupun kakak kelas. Maura memang aktif diorganisasi dan kegiatan-kegiatan sekolah yang memungkinkannya untuk sering bersosialisasi dengan para siswa.

Gosip semacam itu bagikan debu di musim kemarau. Cepat sekali terbawa oleh angin dan menempel di mana-mana. Pembersihan tak akan ada gunanya. Akan tetap datang lagi, lagi dan lagi dibawa oleh angin-angin yang baru. Hanya dengan mengabaikan dan menyerahkannya pada waktu-lah solusi yang sangat tepat.

Maura hanya membalas pertanyaan itu dengan senyuman lantas bergerak meninggalkan posisinya menuju parkiran. Ia dapati motormu hanya tinggal jejak-jejaknya saja. Kekecewaan menghiasi wajah orientalnya. Ia kemudian berjalan menuju halte yang ada di depan sekolah untuk menunggu angkot dengan banyak tanda tanya.
***

Ternyata, kau benar-benar datang ke rumahnya malam ini. Sendiri. Ditemani motor kesayanganmu kau menginjakkan kaki di halaman rumah Maura. Kau tampak begitu gugup. Masih tetap dengan style-mu yang apa adanya. Kaos oblong dipadu dengan celana jins selutut. Tak lupa juga ransel hitam yang selalu kau boyong kemana pun kau pergi.

Kau beranikan diri untuk mengetuk pintu rumahnya. Satu, dua ketuk masih tetap tak ada yang keluar. Kau mengetuknya lagi. Sepertinya kau memang niat sekali untuk berkunjung ke rumah Maura kali ini.

Terdengar suara derap langkah yang suaranya semakin mendekat. Kecepatan detak jantungmu bertambah. Cabang-cabang tanya yang ada di otakmu mulai berkembang. Terlampau banyak hingga berubah menjadi ranting. Ada rasa dirimu yang ingin meninggalkan tempat ini sekarang. Tapi itu tidak mungkin.

Membukakan pintu. “Kau benar-benar datang?” ucapnya kaget melihat sosokmu yang memang nyata di hadapannya. Kau menangkap gelagat Maura yang juga salah tingkah, sama sepertimu. Ia tampak serba salah. Hingga akhirnya mempersilahkanmu masuk.

“Lama ya bukainnya? Lagi nggak ada orang di rumah msalahnya. Tadi aku di belakang, jadi nggak begitu dengar.” Ia membuka percakapan, berusaha membuat suasana supaya menjadi santai. Tapi itu tak begitu berhasil. Kau justru malah salah tingkah.

“Jadi aku salah waktu ya, main ke rumahmu?” berdiri, siap untuk pergi.

“Lho! Nggak kok. Udah duduk aja. Udah di sini masak mau balik pulang gitu aja.” Maura tampak jauh lebih bisa mengendalikan suasana. “Emang mau ngomongin apa?”

Mendengar pertanyaan itu, kau malah tak menjawab sepatah katapun. Sekali lagi kau membuat Maura bingung. Kau malah meraih gitar yang ada di sudut ruang tamu dan memainkan beberapa melodi.

“Ra!” katamu lirih pada Maura. Ia sepenuhnya memberikan perhatiannya padamu.

“Aku bingung mau minta saran ke siapa. Rasanya udah nggak sanggup mikir sendiri. Kenapa aku pilih kamu, aku juga tak tahu,” lanjutmu.

“Ngomong aja, Ko” jawab Maura lembut.

Kau petik tiap-tiap dawai gitar penuh perasaan. Petikan melodimu membuat suasana menjadi haru. Padahal kau belum memulai cerita. “Aku lagi punya ruang yang cukup besar buat seseorang, Ra. Tapi kayaknya dia udah nggak punya ruang buat aku. Meskipun belum bersama, aku tahu ruangnya udah ditempati sama orang lain.”

“Kalau belum bersama, masih ada kesempatan buat mengungkapkan ke dia. Tidak ada salahnya. Meskipun peluang tidak memilikinya lebih besar dan itu akan membuatmu sakit, tapi rasa sakit itu pasti lebih besar jika kau hanya memendamnya.”

Kalian seketika hanyut dalam hening. Bagai permukaan sungai yang tak beriak sama sekali. Mungkin dangkal atau malah dalam tak ada yang tahu. Hening selalu punya banyak makna yang kadang berbahaya. Kau dan Maura larut dalam angan masing-masing. Tak mengijinkan udara bergabung sedetik pun.

“Tapi, aku tak mau membuatnya bingung, Ra?” katamu memecah hening.

Maura menatap matamu yakin, “bingung kenapa? Salahkah seseorang mengungkapkan isi hatinya? Bukankah hidup memang penuh dengan pilihan? Seperti kau yang memilihku menjadi penasehatmu malam ini.”

“Dia teman baikku. Pasti dia menganggapku orang gila yang siap merusak persahabatan yang telah susah payah dibangun. Bukankah aku menjadi orang jahat jika mengatakan perasaanku padanya? Aku tak mau membuatnya sedih karena harus memilih antara aku dan si pemilik ruang.”

Kau menceritakan segalanya pada Maura. Kau ceritakan bagaimana perasaanmu mulai tumbuh sampai sesubur ini padanya. Kau juga mengatakan jika kau merasa cemburu jika dia sedang bersama si pemilik ruang. Wajahnya yang tampak sumringah saat bersama si pemilik ruang juga kau ceritakan dengan gambaran yang sangat jelas. Namun, ada satu hal yang tak kau ceritakan. Namanya. Nama pemilik ruangmu dan si pemilik ruangnya.

Jemarimu masih tetap mengalunkan melodi-melodi indah. Maura terlihat kebingungan mencari nasihat-nasihat yang baik untukmu. Dia kini lebih sering diam untuk mendengarkan ceritamu.

“Tapi kau tak bisa selamanya menyimpan rasa itu, Ko. Dia harus tahu. Siapa tahu dia juga punya rasa yang sama,” Maura berusaha meyakinkanmu.

Tiba-tiba kau mengalihkan pembicaraan, “gimana hubunganmu sendiri, sudah ada perkembangan?”

“Sejauh ini bagus, Ko. Masih dalam tahap pendekatan,” pipinya terlihat memerah.

“Ooo.... jadi malu. Masak kakak kalah sama adik.”

Alunan melodi-melodi indah berhenti mengalun. Jemarimu tak lagi memetik lincah. Kau rupanya memutuskan untuk pulang setelah meminta nasehat terakhir dari Maura. Tak begitu pas dengan yang ada di benakmu, tapi kau berjanji untuk mencobanya.

“Carilah waktu yang tepat untuk mengatakannya. Tata dulu perasaanmu. Kau harus mengatakannya, Kak. Jangan kau siksa perasaanmu. Berjanjilah pada dirimu sendiri.”

“Iya. Akan kucoba,” itulah kata terakhirmu sebelum hilang dari pandangan Maura bersama kuda besi kesayanganmu.
***
Dua hari setelah malam itu, aku sama sekali tak bertemu dengannya. Bahkan melihat sekelebat bayangannya pun tidak. Kemana dia, aku tak tahu. Aku ingin bertemu dengannya sekarang. Ada kekuatan besar yang datang menyelinap masuk ke dalam tulang rusukku setelah malam itu.  Menguatkanku untuk segera menyampaikan hal itu. Kuputuskan untuk menunggunya di halte depan sekolah tempatnya biasa menunggu jemputan. 

Beruntung, tak lama aku menunggu untuk bisa bertemu dengannya. Dia melihat ke arahku dan tersenyum. Dadaku sesak, kembang kempis, bergejolak. Kekuatan itu masih ada. Besar. Aku mencoba menenangkan diri. Dia semakin dekat. Wajahnya tampak berbinar.

"Ngapain di halte, biasanya bawa motor?" tanyanya ramah.

"Pengen ketemu kamu. Udah dua hari nggak ketemu kamu, kemana aja?"

"Lagi banyak kegiatan. Emang ada apa?"

"Emmmmm....." aku bingung harus memulai darimana. "Sebenarnya, ak.."

Belum selesai aku merangkai kata yang ingin kukatakan, kau cepat memotong. "Oh ya, Ko. Aku punya kabar bahagia. Kemarin Encip mengungkapkan perasaannya. Katanya dia sudah lama punya rasa sama aku."

Rasanya jantungku berhenti berdenyut. Semua kekuatan itu seketika musnah. "Terus?"

"Ya aku terimalah. Kamu kan tahu udah lama aku sayang sama dia." Melambaikan tangan sambil naik ke motor jemputannya. Bayangannya masih ada di sampingku. Binar senyumnya tak ikut pergi.

Pupus. Aku pupus seketika karena senyumnya. Dia bahkan tak menanyakan kenapa aku ingin bertemu dengannya. Mungkin aku terlalu lama. Seharusnya aku katakan ini malam saat aku di rumahmu. Aku kalah. Aku Pengecut. Aku munafik, Ra.

Sebegitu sulitnya bagiku untuk mengatakan, "Maura, aku menyayangimu."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar