Want you |
“Ra, tunggu...” teriakmu
sambil berusaha meraih pundaknya saat pulang sekolah. “Nanti malam aku
kerumahmu.”
Tampaknya kau telah
mengejutkannya dengan kalimat singkatmu. Namun, kau sengaja segera berlalu
meninggalkannya karena kau tahu ia akan melontarkan kalimat-kalimat tanya
selanjutnya yang justru akan membuatmu malu.
Entah sejak kapan kau
dan dia saling memiliki ruang. Ruang yang menciptakan berbagai rasa di antara
kalian berdua. Kau sendiri tak tahu apakah kau yang telah masuk perlahan ke
ruangnya ataukah sebaliknya. Semuanya terjadi seperti air mengalir. Pada kenyataannya
toh kau begitu menikmati keadaan ini.
Beberapa tanda tanya
telah diperlihatkan oleh raut wajah Maura. Ia masih mempertahankan posisi
terakhir saat kau melepaskan pundaknya. Memang tak biasanya kau yang setingkat
lebih tinggi dari Maura dengan sengaja mau menunggu dan menyapa duluan. Apalagi
di tempat yang memungkinkan banyak mata bisa memandang dengan mudah seperti saat
ini. Gerombolan para perempuan pun secara otomatis mencari sumber suara yang
ternyata darimu. Namun sayang, saat mereka tepat menemukan sumber suara itu,
kau ternyata telah berhasil melarikan diri dan melenggang dengan tenang.
Membuat Maura-lah yang harus mempertanggung jawabkan perbuatanmu.
“Cie, cie, Maura.
Ternyata diam-diam lincah juga. PJ-nya dong, Ra?” sergah seorang kakak kelas
dari gerombolan para perempuan menggoda Maura. Maura terlihat salah tingkah.
Ya. Benar-benar salah tingkah dan tak tahu harus menjawab apa. Otaknya masih
mencari jawaban yang tepat. Jawaban yang tidak ambigu.
Maura tak mengenal
siapa perempuan yang berbicara. Ia hanya tahu jika perempuan itu adalah teman
sekelasmu. Banyak yang mengenal Maura. Hampir seluruh siswa mungkin. Adik kelas
maupun kakak kelas. Maura memang aktif diorganisasi dan kegiatan-kegiatan
sekolah yang memungkinkannya untuk sering bersosialisasi dengan para siswa.
Gosip semacam itu
bagikan debu di musim kemarau. Cepat sekali terbawa oleh angin dan menempel di
mana-mana. Pembersihan tak akan ada gunanya. Akan tetap datang lagi, lagi dan
lagi dibawa oleh angin-angin yang baru. Hanya dengan mengabaikan dan
menyerahkannya pada waktu-lah solusi yang sangat tepat.
Maura hanya membalas
pertanyaan itu dengan senyuman lantas bergerak meninggalkan posisinya menuju
parkiran. Ia dapati motormu hanya tinggal jejak-jejaknya saja. Kekecewaan menghiasi
wajah orientalnya. Ia kemudian berjalan menuju halte yang ada di depan sekolah
untuk menunggu angkot dengan banyak tanda tanya.
***
Ternyata, kau
benar-benar datang ke rumahnya malam ini. Sendiri. Ditemani motor kesayanganmu
kau menginjakkan kaki di halaman rumah Maura. Kau tampak begitu gugup. Masih tetap
dengan style-mu yang apa adanya. Kaos
oblong dipadu dengan celana jins selutut. Tak lupa juga ransel hitam yang
selalu kau boyong kemana pun kau pergi.
Kau beranikan diri
untuk mengetuk pintu rumahnya. Satu, dua ketuk masih tetap tak ada yang keluar.
Kau mengetuknya lagi. Sepertinya kau memang niat sekali untuk berkunjung ke
rumah Maura kali ini.
Terdengar suara derap
langkah yang suaranya semakin mendekat. Kecepatan detak jantungmu bertambah.
Cabang-cabang tanya yang ada di otakmu mulai berkembang. Terlampau banyak
hingga berubah menjadi ranting. Ada rasa dirimu yang ingin meninggalkan tempat
ini sekarang. Tapi itu tidak mungkin.
Membukakan pintu. “Kau
benar-benar datang?” ucapnya kaget melihat sosokmu yang memang nyata di
hadapannya. Kau menangkap gelagat Maura yang juga salah tingkah, sama
sepertimu. Ia tampak serba salah. Hingga akhirnya mempersilahkanmu masuk.
“Lama ya bukainnya?
Lagi nggak ada orang di rumah msalahnya. Tadi aku di belakang, jadi nggak
begitu dengar.” Ia membuka percakapan, berusaha membuat suasana supaya menjadi
santai. Tapi itu tak begitu berhasil. Kau justru malah salah tingkah.
“Jadi aku salah waktu
ya, main ke rumahmu?” berdiri, siap untuk pergi.
“Lho! Nggak kok. Udah
duduk aja. Udah di sini masak mau balik pulang gitu aja.” Maura tampak jauh
lebih bisa mengendalikan suasana. “Emang mau ngomongin apa?”
Mendengar pertanyaan
itu, kau malah tak menjawab sepatah katapun. Sekali lagi kau membuat Maura
bingung. Kau malah meraih gitar yang ada di sudut ruang tamu dan memainkan
beberapa melodi.
“Ra!” katamu lirih
pada Maura. Ia sepenuhnya memberikan perhatiannya padamu.
“Aku bingung mau minta
saran ke siapa. Rasanya udah nggak sanggup mikir sendiri. Kenapa aku pilih
kamu, aku juga tak tahu,” lanjutmu.
“Ngomong aja, Ko”
jawab Maura lembut.
Kau petik tiap-tiap
dawai gitar penuh perasaan. Petikan melodimu membuat suasana menjadi haru.
Padahal kau belum memulai cerita. “Aku lagi punya ruang yang cukup besar buat
seseorang, Ra. Tapi kayaknya dia udah nggak punya ruang buat aku. Meskipun
belum bersama, aku tahu ruangnya udah ditempati sama orang lain.”
“Kalau belum bersama, masih
ada kesempatan buat mengungkapkan ke dia. Tidak ada salahnya. Meskipun peluang
tidak memilikinya lebih besar dan itu akan membuatmu sakit, tapi rasa sakit itu
pasti lebih besar jika kau hanya memendamnya.”
Kalian seketika hanyut
dalam hening. Bagai permukaan sungai yang tak beriak sama sekali. Mungkin
dangkal atau malah dalam tak ada yang tahu. Hening selalu punya banyak makna
yang kadang berbahaya. Kau dan Maura larut dalam angan masing-masing. Tak
mengijinkan udara bergabung sedetik pun.
“Tapi, aku tak mau
membuatnya bingung, Ra?” katamu memecah hening.
Maura menatap matamu
yakin, “bingung kenapa? Salahkah seseorang mengungkapkan isi hatinya? Bukankah
hidup memang penuh dengan pilihan? Seperti kau yang memilihku menjadi
penasehatmu malam ini.”
“Dia teman baikku.
Pasti dia menganggapku orang gila yang siap merusak persahabatan yang telah
susah payah dibangun. Bukankah aku menjadi orang jahat jika mengatakan
perasaanku padanya? Aku tak mau membuatnya sedih karena harus memilih antara
aku dan si pemilik ruang.”
Kau menceritakan
segalanya pada Maura. Kau ceritakan bagaimana perasaanmu mulai tumbuh sampai
sesubur ini padanya. Kau juga mengatakan jika kau merasa cemburu jika dia
sedang bersama si pemilik ruang. Wajahnya yang tampak sumringah saat bersama si
pemilik ruang juga kau ceritakan dengan gambaran yang sangat jelas. Namun, ada
satu hal yang tak kau ceritakan. Namanya. Nama pemilik ruangmu dan si pemilik
ruangnya.
Jemarimu masih tetap
mengalunkan melodi-melodi indah. Maura terlihat kebingungan mencari
nasihat-nasihat yang baik untukmu. Dia kini lebih sering diam untuk
mendengarkan ceritamu.
“Tapi kau tak bisa
selamanya menyimpan rasa itu, Ko. Dia harus tahu. Siapa tahu dia juga punya
rasa yang sama,” Maura berusaha meyakinkanmu.
Tiba-tiba kau
mengalihkan pembicaraan, “gimana hubunganmu sendiri, sudah ada perkembangan?”
“Sejauh ini bagus, Ko.
Masih dalam tahap pendekatan,” pipinya terlihat memerah.
“Ooo.... jadi malu.
Masak kakak kalah sama adik.”
Alunan melodi-melodi
indah berhenti mengalun. Jemarimu tak lagi memetik lincah. Kau rupanya
memutuskan untuk pulang setelah meminta nasehat terakhir dari Maura. Tak begitu
pas dengan yang ada di benakmu, tapi kau berjanji untuk mencobanya.
“Carilah waktu yang
tepat untuk mengatakannya. Tata dulu perasaanmu. Kau harus mengatakannya, Kak.
Jangan kau siksa perasaanmu. Berjanjilah pada dirimu sendiri.”
“Iya. Akan kucoba,”
itulah kata terakhirmu sebelum hilang dari pandangan Maura bersama kuda besi
kesayanganmu.
***
Dua hari setelah malam itu, aku sama sekali tak bertemu dengannya. Bahkan melihat sekelebat bayangannya pun tidak. Kemana dia, aku tak tahu. Aku ingin bertemu dengannya sekarang. Ada kekuatan besar yang datang menyelinap masuk ke dalam tulang rusukku setelah malam itu. Menguatkanku untuk segera menyampaikan hal itu. Kuputuskan untuk menunggunya di halte depan sekolah tempatnya biasa menunggu jemputan.
Beruntung, tak lama aku menunggu untuk bisa bertemu dengannya. Dia melihat ke arahku dan tersenyum. Dadaku sesak, kembang kempis, bergejolak. Kekuatan itu masih ada. Besar. Aku mencoba menenangkan diri. Dia semakin dekat. Wajahnya tampak berbinar.
"Ngapain di halte, biasanya bawa motor?" tanyanya ramah.
"Pengen ketemu kamu. Udah dua hari nggak ketemu kamu, kemana aja?"
"Lagi banyak kegiatan. Emang ada apa?"
"Emmmmm....." aku bingung harus memulai darimana. "Sebenarnya, ak.."
Belum selesai aku merangkai kata yang ingin kukatakan, kau cepat memotong. "Oh ya, Ko. Aku punya kabar bahagia. Kemarin Encip mengungkapkan perasaannya. Katanya dia sudah lama punya rasa sama aku."
Rasanya jantungku berhenti berdenyut. Semua kekuatan itu seketika musnah. "Terus?"
"Ya aku terimalah. Kamu kan tahu udah lama aku sayang sama dia." Melambaikan tangan sambil naik ke motor jemputannya. Bayangannya masih ada di sampingku. Binar senyumnya tak ikut pergi.
Pupus. Aku pupus seketika karena senyumnya. Dia bahkan tak menanyakan kenapa aku ingin bertemu dengannya. Mungkin aku terlalu lama. Seharusnya aku katakan ini malam saat aku di rumahmu. Aku kalah. Aku Pengecut. Aku munafik, Ra.
Sebegitu sulitnya bagiku untuk mengatakan, "Maura, aku menyayangimu."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar