![]() |
Dream Wolrd |
Cuaca tak begitu terik siang ini.
Tak seperti biasanya dimusim kemarau, kali ini suhu turun beberapa derajat yang
membuat pori-pori berpuasa mengeluarkan peluh. Butiran halus air kiriman Tuhan membangun suasana menenangkan. Memaksa jutaan butiran debu tetap pada
pijakannya dan basah. Menyodorkan aroma khas yang sangat dikenal oleh indera
penciuman.
Kunikmati suasana ini sambil
mencari sosoknya yang tak kutemui sepanjang hari ini. Menelusuri tiap jalur
yang biasa ia lewati untuk sampai pintu gerbang sekolah dan duduk di halte
menunggu angkot. Rasa cemas seketika terbangun tatkala tak kuketahui
keadaannya. Mencoba menanyakan pada teman sekelasnya, tapi tetap nihil. Tak ada
yang tahu kemana dia setelah keluar kelas.
Sadar seluruh permukaan wajahku
sukses menjadi basah karena butiran air halus yang berkumpul, kuputuskan untuk
berteduh sebentar di depan perpustakaan. Mengambil selembar tisu yang ada di
tas dan mengusapkan ke wajah. Pandanganku tetap terjaga mencari sosoknya.
Pemuda dengan tinggi standar, berkulit sawo matang yang tak pernah lepas dari
jaketnya. Kemana kamu?
Butiran halus air berhenti turun.
Terlihat beberapa anak masih asik dengan aktivitasnya di sekolah. Aku
memutuskan untuk pergi ke halte depan sekolah. Berharap mungkin dia sedang
duduk di sana.
Sampai di pintu gerbang,
kuarahkan pandangan jauh ke halte. Dia tak ada di sana. Kutarik nafas
dalam-dalam dan menghembuskannya panjang. Aku tetap berjalan menuju halte.
Dengan langkah putus asa kugerakkan kaki ini. Sapa ceria dari teman-temanku tak
mengubah perasaanku. Rasanya ada yang hilang.
“Maura....!!” panggil seseorang
yang suaranya benar-benar kukenal. Tak ada alasan lagi untuk tidak menengok ke
belakang. Ya, itu suara Miko.
“Hei?”
“Mau kemana?”
“Halte lah.”
“Ngapain ke halte, bukannya
dijemput ya? Tunggu aja di sini”
“Bukan mau nunggu jemputan”
“Terus nunggu siapa?”
Pertanyannya membuatku merasa
kesal. Tak tahukah dia, aku mengitari sekolah hanya untuk menemukan sosoknya.
Dengan cekatan kujawab, “Kamu! Puas?”
Dia lalu diam dan berjalan
mengikutiku menuju halte. Kami duduk bersama. Berdua, di tengah suasana sendu.
Untuk beberapa saat kami mempertahankan ego masing-masing untuk menutup
rapat-rapat mulut ini. Sesekali ia melihat ponsel yang ada digengaman dan
memainkannya. Mungkin dia merasa jenuh bersamaku di sini. Mungkin dalam hatinya
juga sudah memaki-maki sopir angkot yang tak kunjung datang.
“Selamat hari pahlawan, Ko”
kataku membuka percakapan.
“Iya. Selamat hari pahlawan juga”
“Siapa pahlawan dalam hidupmu?
Bolehkah aku tahu?”
“Emmm, siapa ya? Spiderman, Batman, Superman, Hulk, Thor, atau
Cat Woman. Mana yang menrutmu lebih
pantas?”
Dia mulai bercanda. Mencairkan
suasana yang tadi sempat beku. Aku tersenyum. “Seriously, please! Who is your hero, Miko? Can you tell me?”
“I don’t know.”
“Nggak tahu apa, pahlawan dalam
hidupmu?”
“Bukan! Nggak tahu sama bahasa
kamu. Emang siapa pahlawan kamu?”
Begitulah dia. Sering mengaku
sebagai seseorang yang serius tapi sebenarnya, ya, seperti kebanyakan orang
yang sangat dinamis. Aku menatapnya kesal tanpa berkata apapun. Dia sengaja
membalasnya dengan tatapan lugu tak berdosa. Sambil membangun senyum
seringainya, dia terus menatapku yang pasti terlihat semakin kesal. Aku
benar-benar ingin menonjokknya. Tepat di tengah wajahnya. Emosiku memuncak, dan
dia tahu itu.
“Hhahaha... Ujian berakhir, Nona!
Emosimu terlalu mudah untuk berada pada posisi puncak. Aku tahu sudah banyak
makian di benakmu untukku, kan? Dan jika aku tak menghentikannya sekarang,
mungkin jiwaku terancam”
Baik memang tujuannya. Ingin
membantuku menjadi lebih sabar. Tapi itu menjengkelkan. Dia memutar badan 90⁰
yang otomatis mengubah posisi duduknya yang awalnya sejajar denganku, menjadi
menghadapku. Aku hanya diam sambil menatap jauh ke depan. Memandangi
pemandangan depan sekolah yang ternyata masih alami. Hamparan sawah hijau
terbentang menunjukkan keindahannya. Aku tahu ia menatapku sekarang.
“Apa bedanya malaikat sama
pahlawan?” tanyanya dengan nada serius.
Aku masih enggan menjawab.
“Nona Maura masih ngambek ya?
Tadi kan cuma bercanda. Apa sih bedanya malaikat sama pahlawan?” nadanya merayu
tapi serius.
“Beda wujud dan tujuannya,”
jawabku singkat.
To Be Continued...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar