Jumat, 16 November 2012

Kamu Tetap Malaikatku



Dream Wolrd
Cuaca tak begitu terik siang ini. Tak seperti biasanya dimusim kemarau, kali ini suhu turun beberapa derajat yang membuat pori-pori berpuasa mengeluarkan peluh. Butiran halus air kiriman Tuhan membangun suasana menenangkan. Memaksa jutaan butiran debu tetap pada pijakannya dan basah. Menyodorkan aroma khas yang sangat dikenal oleh indera penciuman.

Kunikmati suasana ini sambil mencari sosoknya yang tak kutemui sepanjang hari ini. Menelusuri tiap jalur yang biasa ia lewati untuk sampai pintu gerbang sekolah dan duduk di halte menunggu angkot. Rasa cemas seketika terbangun tatkala tak kuketahui keadaannya. Mencoba menanyakan pada teman sekelasnya, tapi tetap nihil. Tak ada yang tahu kemana dia setelah keluar kelas. 

Sadar seluruh permukaan wajahku sukses menjadi basah karena butiran air halus yang berkumpul, kuputuskan untuk berteduh sebentar di depan perpustakaan. Mengambil selembar tisu yang ada di tas dan mengusapkan ke wajah. Pandanganku tetap terjaga mencari sosoknya. Pemuda dengan tinggi standar, berkulit sawo matang yang tak pernah lepas dari jaketnya. Kemana kamu?

Butiran halus air berhenti turun. Terlihat beberapa anak masih asik dengan aktivitasnya di sekolah. Aku memutuskan untuk pergi ke halte depan sekolah. Berharap mungkin dia sedang duduk di sana. 

Sampai di pintu gerbang, kuarahkan pandangan jauh ke halte. Dia tak ada di sana. Kutarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya panjang. Aku tetap berjalan menuju halte. Dengan langkah putus asa kugerakkan kaki ini. Sapa ceria dari teman-temanku tak mengubah perasaanku. Rasanya ada yang hilang.

“Maura....!!” panggil seseorang yang suaranya benar-benar kukenal. Tak ada alasan lagi untuk tidak menengok ke belakang. Ya, itu suara Miko.

“Hei?”

“Mau kemana?”

“Halte lah.”

“Ngapain ke halte, bukannya dijemput ya? Tunggu aja di sini”

“Bukan mau nunggu jemputan”

“Terus nunggu siapa?”

Pertanyannya membuatku merasa kesal. Tak tahukah dia, aku mengitari sekolah hanya untuk menemukan sosoknya. Dengan cekatan kujawab, “Kamu! Puas?”



Dia lalu diam dan berjalan mengikutiku menuju halte. Kami duduk bersama. Berdua, di tengah suasana sendu. Untuk beberapa saat kami mempertahankan ego masing-masing untuk menutup rapat-rapat mulut ini. Sesekali ia melihat ponsel yang ada digengaman dan memainkannya. Mungkin dia merasa jenuh bersamaku di sini. Mungkin dalam hatinya juga sudah memaki-maki sopir angkot yang tak kunjung datang.

“Selamat hari pahlawan, Ko” kataku membuka percakapan.

“Iya. Selamat hari pahlawan juga”

“Siapa pahlawan dalam hidupmu? Bolehkah aku tahu?”

“Emmm, siapa ya? Spiderman, Batman, Superman, Hulk, Thor, atau Cat Woman. Mana yang menrutmu lebih pantas?”

Dia mulai bercanda. Mencairkan suasana yang tadi sempat beku. Aku tersenyum. “Seriously, please! Who is your hero, Miko? Can you tell me?”

I don’t know.”

“Nggak tahu apa, pahlawan dalam hidupmu?”

“Bukan! Nggak tahu sama bahasa kamu. Emang siapa pahlawan kamu?”

Begitulah dia. Sering mengaku sebagai seseorang yang serius tapi sebenarnya, ya, seperti kebanyakan orang yang sangat dinamis. Aku menatapnya kesal tanpa berkata apapun. Dia sengaja membalasnya dengan tatapan lugu tak berdosa. Sambil membangun senyum seringainya, dia terus menatapku yang pasti terlihat semakin kesal. Aku benar-benar ingin menonjokknya. Tepat di tengah wajahnya. Emosiku memuncak, dan dia tahu itu.

“Hhahaha... Ujian berakhir, Nona! Emosimu terlalu mudah untuk berada pada posisi puncak. Aku tahu sudah banyak makian di benakmu untukku, kan? Dan jika aku tak menghentikannya sekarang, mungkin jiwaku terancam”

Baik memang tujuannya. Ingin membantuku menjadi lebih sabar. Tapi itu menjengkelkan. Dia memutar badan 90⁰ yang otomatis mengubah posisi duduknya yang awalnya sejajar denganku, menjadi menghadapku. Aku hanya diam sambil menatap jauh ke depan. Memandangi pemandangan depan sekolah yang ternyata masih alami. Hamparan sawah hijau terbentang menunjukkan keindahannya. Aku tahu ia menatapku sekarang.

“Apa bedanya malaikat sama pahlawan?” tanyanya dengan nada serius.

Aku masih enggan menjawab.

“Nona Maura masih ngambek ya? Tadi kan cuma bercanda. Apa sih bedanya malaikat sama pahlawan?” nadanya merayu tapi serius.

“Beda wujud dan tujuannya,” jawabku singkat.
  To Be Continued...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar