Udara pagi ini terasa sangat dingin, ditambah rintik-rintik hujan yang
membasahi dedaunan dan apapun yang telanjang di bawah langit. Kabut masih
menyelimuti kotaku pagi ini. Perlahan kubuka dua bola mataku yang masih berat
ini. Kulihat jam dinding di kamarku menunjukkan pukul 04.30. Ternyata suamiku
juga masih tidur pulas di sampingku. Tanpa buang-buang waktu, aku langsung
pergi ke kamar Juna, anak laki-laki semata wayangku dan menyiapkan sarapan.
Banyak sekali aktifitas yang harus
aku kerjakan hari ini. Sampai-sampai aku harus menuliskannya di kertas catatan
berbagai kebutuhan dan aktifitasku hari ini agar tak tercecer. Akhir-akhir ini
aku sering melupakan sesuatu. Aku sadar bahwa kini aku tidak dapat mengelola
sesuatu dengan baik. Padahal dulu aku selalu bisa mangaturnya segala sesuatu dengan baik.
Mungkin aku terlalu terbebani oleh
tanggung jawab yang diberikan ayah dan ibu padaku. Terlahir sebagai anak sulung
dari empat bersaudara, membuatku harus kuat menanggung beban itu, aku harus bisa
menyekolahkan adik-adikku hingga menjadi sarjana dan menanggung pernikahannya
nanti.
Banyak orang yang berpikiran jika
hidupku sangat sempurna. Padahal sebenarnya dalam hatiku ini tersimpan
kepahitan. Orang-orang berkata bahwa aku sangat beruntung. Bekerja sebagai
pegawai senior di salah satu perusahaan swasta terkemuka. Mempunyai suami yang
sangat tampan, bertubuh atletis, dan seorang anak berumur 4 tahun yang berbulu
mata lentik, berkulit putih.
“Dua minggu lagi adikku akan menikah.
Banyak yang harus kupersiapkan”, ujarku pada Elia, teman sekantorku sambil
kutarik nafas dalam-dalam.
Sepertinya ia tidak paham dengan
perkataanku. “Memangnya apa yang harus kakak lakukan?”, Tanya Elia. “Biasalah,
harus pinjam uang sana-sini untuk pesta”, jawabku.
“Aku harus memikirkan gedung resepsi,
gaun yang akan dipakai, acara akad nikah, sampai menu makanannya”, kataku pada
Elia. Mungkin ia mengerti betapa rumitnya pikiranku.
“Kalau butuh bantuan, telfon aku saja
kak. Aku pasti siap membantumu”, ujarnya padaku sambil tersenyum. Mendengar
kata itu, hatiku bahagia. Tak menyesal aku mempunya teman sepertinya. Ia selalu
membantu kesulitan yang aku alami. Karena tak ada siapapun yang mau membantuku,
termasuk suamiku. Kadang aku berfikir, apakah dia harus kuceraikan atau kupertahankan.
Banyak yang mengira, perkawinanku adalah perkawinan yang sempurna. Aku sering
mendapat pujian atas ketampanan suamiku. Tapi semua itu salah besar.
Perkawinanku yang sesungguhnya jauh dari bahagia. Suamiku sering bertindak
kasar padaku. Salah sedikit saja, tangannya langsung beraksi. Selama ini aku
menahan kepedihan hatiku tanpa seorang pun tahu termasuk orang tuaku. Aku
selalu menutupinya,berpura-pura tidak terjadi apapun. Sampai akhirnya,
perlakuannya padaku sudah tidak bisa
kutoleransi. Ia melakukan kekerasan yang mengakibatkan lebam-lebam di tubuhku.
Sampai suatu hari aku tiba di kantor
pada pukul 12 siang. Elia sontak
terkejut melihatku karena melihat lebam-lebam di tubuhku.
“Apa yang terjadi padamu kak?” tanya
Elia cemas. Aku hanya terdiam dan menangis tersedu-sedu di meja kerjaku sambil
memegangi wajahku yang memar.
“Ada apa kak?” Elia bertanya lagi.
“Semalam Aji memukulku lagi. Aku
hampir dibunuh”, jawabku pada Elia.
Elia sangat terkejut mendengarnya.
Mungkin anggapannya tentang keluarga sempurna sekejap runtuh, karena ia juga
beranggapan jika keluargaku adalah keluarga yang sempurna. Akhirnya kuceritakan
semua yang terjadi padaku tadi malam padanya. Elia sedih mendengar ceritaku.
Air matanya deras mengalir di pipinya yang mulus sambil terus mengusap rambutku
dengan lembut. Akhirnya, kami berdua menangis bersama.