![]() |
Net |
"Berputar menjadi sesuatu yang bukan kita demi bisa menjadi diri kita lagi. Suatu saat nanti, kita akan jadi diri kita sendiri.” (Dee - Perahu Kertas)
Ini bukan cerita Kugy dan Keenan seperti yang ada dalam novel garapan Dee yang cukup tersohor itu, tapi ini kisah anak-anak manusia yang mungkin sedang menunggu menjadi dirinya sendiri.
Agatha Ega, Anindia Basuki, Achmad Romadlon, pernah mendengar nama-nama itu? Mereka bukan siapa-siapa, jadi tidak ada yang salah jika tidak mengenalinya. Kita bertiga hanya seorang siswa-siswi SMP waktu itu, sahabat, dan juga crew. Tak ada yang menyatukan kita selain satu hal: MIMPI. Aku punya cita-cita sendiri, Anin punya cita-cita sendiri, dan Ramapun juga, tidak ada yang sama, lalu apa? Kami yang selalu terobsesi akan hal-hal dalam jalur mimipi kita ini, hanya sering dan selalu berbagi.
Aku suka kebebasan, tapi ini bukanlah sebuah gen bawaan yang sudah ada ketika aku terlahir di dunia ini. Sekitar 3 tahun lalu aku baru belajar akan kebebasan, aku menjadi benar-benar tahu apa yang aku inginkan, impikan, dan harapkan sebenarnya. Dari gadis kecil lugu yang terbelenggu, yang selalu minder pada dunia luar, tiba-tiba mengenal akting, public speaking, menulis dan sastra, seorang guru sekaligus motivator: Dadija Oetomo — yang lagi-lagi mungkin kau tak mengenalinya — yang telah menyadarkanku.
Berbeda dengan diriku, Anin, juara kelas yang serba bisa itu juga tersadarkan oleh jalan yang harus ia pilih. Akting, vokal, dan menggambar, tiba-tiba saja ia disodorkan pada hal-hal yang harus ia sadarinya, hal-hal yang sebenarnya mendominasi dirinya dibanding hal lain, dan lagi-lagi orang yang sama yang telah membuatnya melek saat itu juga.
Kali ini Rama, sama seperti aku dan Anin, cowok berperawakan sederhana, lugu dan tak pernah peduli pada penampilan fisik itu, tiba-tiba saja ia melek tegnologi. Internet, komputer, jaringan, OS, sampai tulisan dan leadership, lagi-lagi sang motivator yang menginspirasi.
Sang motivator itu rupanya telah sukses bahkan berhasil telak menginfeksi kita bertiga yang haus akan inspirasi. Sejak itu kita jadi punya pegangan, Passion, dan di buat jelas jalan mana yang harus kita tempuh masing-masing. Aku ingin jadi jurnalis (Amin), Anin ingin jadi desainer grafis (Amin), Rama ingin jadi programer (Amin). Sejak itu pula kami mengamini semuanya, dan mulai melangkah membuat jejak. “Lakukan yang kamu cinta, cintai yang kamu lakukan.”, begitu terus kalimat yang mengalir menembus ruang tengah otak kami.
Tapi...
Jejak kami sepertinya harus terhenti, bukan, aku yakin bukan selamanya. Tahun terakhir masa-masa SMP, kami dibingungkan harus memilih sekolah lanjutan. Dalam proses yang cukup panjang, antara keinginan hati dan orang tua, kita berpisah, bukan saja berpisah sekolah, tapi kita dengan atau tanpa disadari justru berpisah dari jalur yang kita tetapkan.
Aku, sekarang aku ada di sini, SMA berlabel RSBI luar kota yang telah berhasil mengumpani orang tuaku, mereka tergiur akan keyakinan anaknya bakal jadi lebih beradap dan berpendidikan di sekolah elit. Dan tahukah apa artinya ini? Artinya aku tak lagi punya waktu mengurusi mimipi-mimpiku, tak dapat merasakan kebebasan — yang ada hanya tekanan, dan berkutat sebagaimana mestinya seorang pelajar rintisan sekolah berstandart internasional.
Anin? Dia tak berhasil melanjutkan mimpinya di sekolah seni, orang tuanya menginginkannya tetap sekolah di SMA negeri biasa di sana, yang artinya dia harus mengasah bakat menggambarnya sendiri tanpa guru-guru dibidang itu yang amat dia harapkan ada di sekolahnya kelak.
Rama? Ini lebih ironis, orang tua Rama menginginkannya menuntut ilmu agama, maka berangkatlah ia mondok di salah satu pesantren luar kota, meninggalkan teknologi yang biasa menemani harinya, seperti laptop kesayangannya yang sering ia buat percobaan, bahkan OS buatannya juga tak lagi bisa ia utak-utik.
Langkah kami terpenggal, tanpa disadari kita telah menjadi Kugy dan Keenan yang harus berbelok dari dirinya sendiri. Terakhir kali aku tahu (untungnya) kita masih berusaha. Diriku yang terlampau frustasi dengan tugas-tugas yang menumpuk dan pelajaran-pelajaran berbasis eksak, tak jarang memotong waktu untuk sekedar menulis, menulis apa saja, bahkan juga melanjutkan novelku. Anin juga selalu bercerita bahwa ia juga sering mengisi waktunya dengan menggambar, menggambar apa saja yang ingin ia tuangkan dalam goresan-goresan di atas kertas gambarnya. Rama, walau dalam frekuensi jarang, ia selalu menyempatkan diri bergabung dalam forum diskusi dalam jejaring sosial tentang teknologi dan tak lupa bernostalgia dengan laptop kesayangannya yang ia anggurkan tiap 6 bulan, ya... Rama memang hanya bisa menyambangi rumah sekitar 6 bulan sekali, dan aku juga anin tak pernah absen mampir sekedar menanyai kabarnya.
Kita masih tetap bersahabat seterusnya, berusaha seterusnya, dan menunggu seterusnya, entah sampai kapan. Semoga kita tidak lelah sebelum jejak yang terpause itu dapat kita replay, sebelum perputaran itu berhenti dan kita dapat kembali menjadi diri kita sendiri (Amin).
Ini bukan cerita Kugy dan Keenan seperti yang ada dalam novel garapan Dee yang cukup tersohor itu, tapi ini kisah anak-anak manusia yang mungkin sedang menunggu menjadi dirinya sendiri.
Agatha Ega, Anindia Basuki, Achmad Romadlon, pernah mendengar nama-nama itu? Mereka bukan siapa-siapa, jadi tidak ada yang salah jika tidak mengenalinya. Kita bertiga hanya seorang siswa-siswi SMP waktu itu, sahabat, dan juga crew. Tak ada yang menyatukan kita selain satu hal: MIMPI. Aku punya cita-cita sendiri, Anin punya cita-cita sendiri, dan Ramapun juga, tidak ada yang sama, lalu apa? Kami yang selalu terobsesi akan hal-hal dalam jalur mimipi kita ini, hanya sering dan selalu berbagi.
Aku suka kebebasan, tapi ini bukanlah sebuah gen bawaan yang sudah ada ketika aku terlahir di dunia ini. Sekitar 3 tahun lalu aku baru belajar akan kebebasan, aku menjadi benar-benar tahu apa yang aku inginkan, impikan, dan harapkan sebenarnya. Dari gadis kecil lugu yang terbelenggu, yang selalu minder pada dunia luar, tiba-tiba mengenal akting, public speaking, menulis dan sastra, seorang guru sekaligus motivator: Dadija Oetomo — yang lagi-lagi mungkin kau tak mengenalinya — yang telah menyadarkanku.
Berbeda dengan diriku, Anin, juara kelas yang serba bisa itu juga tersadarkan oleh jalan yang harus ia pilih. Akting, vokal, dan menggambar, tiba-tiba saja ia disodorkan pada hal-hal yang harus ia sadarinya, hal-hal yang sebenarnya mendominasi dirinya dibanding hal lain, dan lagi-lagi orang yang sama yang telah membuatnya melek saat itu juga.
Kali ini Rama, sama seperti aku dan Anin, cowok berperawakan sederhana, lugu dan tak pernah peduli pada penampilan fisik itu, tiba-tiba saja ia melek tegnologi. Internet, komputer, jaringan, OS, sampai tulisan dan leadership, lagi-lagi sang motivator yang menginspirasi.
Sang motivator itu rupanya telah sukses bahkan berhasil telak menginfeksi kita bertiga yang haus akan inspirasi. Sejak itu kita jadi punya pegangan, Passion, dan di buat jelas jalan mana yang harus kita tempuh masing-masing. Aku ingin jadi jurnalis (Amin), Anin ingin jadi desainer grafis (Amin), Rama ingin jadi programer (Amin). Sejak itu pula kami mengamini semuanya, dan mulai melangkah membuat jejak. “Lakukan yang kamu cinta, cintai yang kamu lakukan.”, begitu terus kalimat yang mengalir menembus ruang tengah otak kami.
Tapi...
Jejak kami sepertinya harus terhenti, bukan, aku yakin bukan selamanya. Tahun terakhir masa-masa SMP, kami dibingungkan harus memilih sekolah lanjutan. Dalam proses yang cukup panjang, antara keinginan hati dan orang tua, kita berpisah, bukan saja berpisah sekolah, tapi kita dengan atau tanpa disadari justru berpisah dari jalur yang kita tetapkan.
Aku, sekarang aku ada di sini, SMA berlabel RSBI luar kota yang telah berhasil mengumpani orang tuaku, mereka tergiur akan keyakinan anaknya bakal jadi lebih beradap dan berpendidikan di sekolah elit. Dan tahukah apa artinya ini? Artinya aku tak lagi punya waktu mengurusi mimipi-mimpiku, tak dapat merasakan kebebasan — yang ada hanya tekanan, dan berkutat sebagaimana mestinya seorang pelajar rintisan sekolah berstandart internasional.
Anin? Dia tak berhasil melanjutkan mimpinya di sekolah seni, orang tuanya menginginkannya tetap sekolah di SMA negeri biasa di sana, yang artinya dia harus mengasah bakat menggambarnya sendiri tanpa guru-guru dibidang itu yang amat dia harapkan ada di sekolahnya kelak.
Rama? Ini lebih ironis, orang tua Rama menginginkannya menuntut ilmu agama, maka berangkatlah ia mondok di salah satu pesantren luar kota, meninggalkan teknologi yang biasa menemani harinya, seperti laptop kesayangannya yang sering ia buat percobaan, bahkan OS buatannya juga tak lagi bisa ia utak-utik.
Langkah kami terpenggal, tanpa disadari kita telah menjadi Kugy dan Keenan yang harus berbelok dari dirinya sendiri. Terakhir kali aku tahu (untungnya) kita masih berusaha. Diriku yang terlampau frustasi dengan tugas-tugas yang menumpuk dan pelajaran-pelajaran berbasis eksak, tak jarang memotong waktu untuk sekedar menulis, menulis apa saja, bahkan juga melanjutkan novelku. Anin juga selalu bercerita bahwa ia juga sering mengisi waktunya dengan menggambar, menggambar apa saja yang ingin ia tuangkan dalam goresan-goresan di atas kertas gambarnya. Rama, walau dalam frekuensi jarang, ia selalu menyempatkan diri bergabung dalam forum diskusi dalam jejaring sosial tentang teknologi dan tak lupa bernostalgia dengan laptop kesayangannya yang ia anggurkan tiap 6 bulan, ya... Rama memang hanya bisa menyambangi rumah sekitar 6 bulan sekali, dan aku juga anin tak pernah absen mampir sekedar menanyai kabarnya.
Kita masih tetap bersahabat seterusnya, berusaha seterusnya, dan menunggu seterusnya, entah sampai kapan. Semoga kita tidak lelah sebelum jejak yang terpause itu dapat kita replay, sebelum perputaran itu berhenti dan kita dapat kembali menjadi diri kita sendiri (Amin).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar